Pentingnya Kecerdasan Emosional (EQ)
Beberapa bulan yang lalu, Di Tanah Air dikejutkan dengan
peristiwa yang sangat memilukan yaitu ada seorang Bapak yang tega membunuh
anaknya dengan begitu kejinya hanya karena anaknya rewel. Contoh diatas
merupakan penyimpangan perilaku/penyimpangan emosi yang berat, tindakan
tersebut tentu melanggar aturan-aturan hukum, agama serta norma-norma peradaban
umat manusia. Penyimpangan perilaku yang negatif semakin hari kian meningkat
dengan kasus-kasus penyimpangan perilaku yang semakin berat dan membahayakan.
Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence mengatakan bahwa orang-orang yang sering bertindak ceroboh, tanpa berfikir panjang, tidak memiliki empati dan kurang bersabar merupakan orang-orang yang memiliki tingkat kecerdasan emosional rendah. Rendahnya tingkat kecerdasan emosional, tidak hanya membawa petaka bagi dirinya sendiri, tetapi juga sangat membahayakan orang lain dan lingkungannya.
Emosi sangat mempengaruhi kehidupan manusia , ketika dia mengambil keputusan tidak jarang keputusan yang diambil melalui emosinya. Tidak ada sama sekali keputusan yang diambil manusia murni dari pemikiran rasionya (akalnya), karena seluruh keputusannya memiliki warna emosional. Jika kita memperhatikan keputusan-keputusan dalam kehidupan manusia, ternyata keputusannya lebih banyak ditentukan oleh emosinya daripada akal sehatnya. Tragisnya, semakin banyak saat ini orang yang memiliki tingkat emosional yang rendah. Daniel Goleman juga mengatakan bahwa yang menentukan sukses dalam kehidupan manusia bukanlah kecerdasan intelektual, tetapi kecerdasan amosional. Kecerdasan Emosional diukur dari kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri. Orang yang paling sabar adalah orang yang paling tinggi kecerdasan emosionalnya. Ia biasanya tabah dalam menghadapi kesulitan. Ia memiliki empati yang tinggi, tanggap terhadap lingkungan sosialnya, berdisiplin dan bertanggung jawab.
Kecerdasan emosional memegang peranan besar dalam keberhasilan dan kesuksesan hidup seseorang, 20% keberhasilan hidup seseorang ditentukan oleh Kecerdasan Intelektualnya (IQ), sedangkan 80% nya ditentukan oleh Kecerdasan Emosionalnya(EQ) dan kecerdasan lainnya.
Kinerja
Guru Dan Kecerdasan Emosional (EQ)
Secara umum terbentuknya kinerja disebabkan oleh tiga faktor
yaitu faktor kemampuan, faktor upaya,
dan faktor kesempatan/ peluang. Dengan kata lain kinerja adalah fungsi dari
ketiga faktor-faktor tersebut di atas yang dikonotasikan dalam bentuk persamaan
menjadi sebagai berikut:
Kinerja = S x U x K
Keterangan :
Kinerja = S x U x K
Keterangan :
v S = kemampuan (abillity)
v U = upaya (effort)
v K = kesempatan/ peluang (offortunity)
Persamaan
di atas menyoroti faktor-faktor dasar yang berperan penting dalam bentukan
kinerja. Ketidakhadiran salah satu faktor dapat mengakibatkan tidak bernilainya
kedua faktor lainnya.
Kinerja terkait dengan profesionalitas. Menurut Andrias Harefa (2004: 121), profesionalitas berasal dari kata profesi yang diambil dari bahasa Latin profess, professus, profesio, yang sederhananya berarti “declare publicly”, “pengakuan’ atau pernyataan di muka umum. Namun penggunaannya dikaitkan dengan janji religius atau sumpah - suatu pengakuan atau pernyataan yang dilakukan di hadapan orang banyak dan melibatkan Tuhan sebagai saksi. Dalam hal ini, ada komitmen moral yang terkandung di dalamnya. Contohnya. dokter, hakim, guru, pengacara, dan sebagainya. Dalam konteks, Kinerja Profesional guru terdapat beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian salah satunya adalah kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional adalah menggunakan emosi; dengan sengaja membuat emosi bekerja yang membantu untuk menuntun perilaku dan berfikir dalam cara-cara yang dapat mengembangkan hasil yang dapat dicapai. Seseorang yang memiliki keinginan untuk memberi dan kesadaran diri ,telah menunjukkan bahwa seseorang betul-betul memiliki perasaaan yang sangat cemas.
Kinerja terkait dengan profesionalitas. Menurut Andrias Harefa (2004: 121), profesionalitas berasal dari kata profesi yang diambil dari bahasa Latin profess, professus, profesio, yang sederhananya berarti “declare publicly”, “pengakuan’ atau pernyataan di muka umum. Namun penggunaannya dikaitkan dengan janji religius atau sumpah - suatu pengakuan atau pernyataan yang dilakukan di hadapan orang banyak dan melibatkan Tuhan sebagai saksi. Dalam hal ini, ada komitmen moral yang terkandung di dalamnya. Contohnya. dokter, hakim, guru, pengacara, dan sebagainya. Dalam konteks, Kinerja Profesional guru terdapat beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian salah satunya adalah kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional adalah menggunakan emosi; dengan sengaja membuat emosi bekerja yang membantu untuk menuntun perilaku dan berfikir dalam cara-cara yang dapat mengembangkan hasil yang dapat dicapai. Seseorang yang memiliki keinginan untuk memberi dan kesadaran diri ,telah menunjukkan bahwa seseorang betul-betul memiliki perasaaan yang sangat cemas.
Disamping faktor tersebut, komitmen, budya organisasi, kompensasi dan kepuasan kerja yang tidakdapat dipisahkan dalam meningkatkan kinerja profesional guru. Komitmen guru merupakan derajat kepedulian guru dalam memberikan kontribusi terhadap keberhasilan sekolah. Secara empirik budaya organisasi terbukti mempengaruhi komitmen organisasi dan kinerja guru secara signifikan. Kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima para guru sebagai balas jasa menjalankan profesinya. Sedangkan kepuasan kerja paling tidak berkaitan dengan tiga alasan, yakni: Pertama, terdapat bukti yang jelas bahwa guru yang tak terpuaskan lebih sering mengabaikan pekerjaannnya. Kedua, guru yang terpuaskan mempunyai kesehatan yang lebih baik dan usia yang lebih panjang. Ketiga, kepuasan pada pekerjaan menjadi kebanggaan pada dirinya pada kehidupan sehari-hari.
Melatih
Kecerdasan Emosional (EQ)
Sejak kecil kita telah memiliki
emosi dan berinteraksi dengan emosi tersebut. Kebiasaan kita dalam menanganinya
akan terus terbawa dan menjadi karakter seseorang ketika dewasa. Dengan
demikian, alangkah berbahagianya seorang anak yang memiliki orangtua yang peka
dan pelatih emosi yang baik. Anak seperti ini akan berlatih menangani dirinya
sejak masa kecil.
Bagaimana jika ketika dewasa kita
kurang memiliki kematangan secara emosional? Jawabannya adalah kecerdasan
tersebut dapat dilatih. Cara paling awal adalah dengan mengenali emosi diri
Anda ketika terjadi. Kenali apa saja yang berkecamuk dalam dada Anda dan
suara-suara yang memerintahkan Anda untuk bertindak. Tahapan berikutnya adalah
melakukan kontrol diri terhadap berbagai bentuk emosi yang ada. Bagaimana Anda
mengendalikan diri ketika marah, tidak terpuruk ketika merasa kecewa, dapat
bangkit dari kesedihan, mampu memotivasi diri dan bangkit ketika tertekan,
mengatur diri dari kemalasan, menetapkan target yang menantang namun wajar,
serta bisa menerima keberhasilan maupun kegagalan dengan lapang dada.
Jika hal tersebut sudah Anda kuasai,
selanjutnya adalah melatih kematangan sosial. Bagaimana Anda berempati –
merasakan apa yang dirasakan orang lain – sehingga bisa memberi respon yang
tepat terhadap sinyal-sinyal emosi yang ditampilkan orang lain. Kematangan ini
akan mudah dikembangkan jika Anda aktif terlibat dalam organisasi, bekerjasama
dengan orang lain dan memiliki interaksi sosial yang intens. Latihlah kemampuan
Anda dalam memimpin dan dipimpin, memotivasi orang lain, serta mengatasi dan
mengelola konflik.
Bagi saya pribadi, memahami emosi
sangat membantu dalam mengenali diri dalam tahap awal. Selanjutnya adalah
mengenali dan mengendalikan oknum-oknum yang saling berperang dalam diri:
berbagai keinginan, kesombongan, iri hati, dengki, kebencian, amarah dan
sifat-sifat lainnya. Cerdas secara emosional akan membantu Anda pada tahap awal
untuk mengenali diri dengan lebih baik, sekaligus bersikap positif dan melatih
kematangan menghadapi kehidupan, apapun yang terjadi: susah atau senang, sukses
atau gagal, mudah atau sulit.
Kecerdasan Emosional
(EQ) Dalam Belajar
Di tengah semakin ketatnya persaingan di dunia pendidikan
dewasa ini, merupakan hal yang wajar apabila para siswa sering khawatir akan
mengalami kegagalan atau ketidak berhasilan dalam meraih prestasi belajar atau
bahkan takut tinggal kelas.
Banyak usaha yang dilakukan oleh para siswa untuk meraih
prestasi belajar agar menjadi yang terbaik seperti membentuk kelompok belajar
atau mengikuti bimbingan belajar. Usaha
semacam itu jelas positif, namun masih ada faktor lain yang tidak kalah
pentingnya dalam mencapai keberhasilan selain kecerdasan ataupun kecakapan
intelektual, faktor tersebut adalah kecerdasan emosional. Dengan kecerdasan
emosional, individu mampu mengetahui dan menanggapi perasaan mereka sendiri
dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi perasaan-perasaan orang lain
dengan efektif.
Individu dengan keterampilan emosional yang berkembang baik
berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam kehidupan dan memiliki
motivasi untuk berprestasi. Sedangkan individu yang tidak dapat menahan kendali
atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merusak kemampuannya
untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya dan memiliki pikiran yang
jernih.Keterampilan dasar emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba,
tetapi membutuhkan proses dalam mempelajarinya dan lingkungan yang membentuk
kecerdasan emosional tersebut besar pengaruhnya. Hal positif akan diperoleh
bila anak diajarkan keterampilan dasar kecerdasan emosional, secara emosional
akan lebih cerdas, penuh pengertian, mudah menerima perasaan-perasaan dan lebih
banyak pengalaman dalam memecahkan permasalahannya sendiri, sehingga pada saat
remaja akan lebih banyak sukses di sekolah dan dalam berhubungan dengan rekan
sebaya serta akan terlindung dari resiko-resiko seperti obat-obat terlarang,
kenakalan, kekerasan serta seks yang tidak aman.
Melihat uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang penting yang seharusnya dimiliki oleh siswa yang memiliki kebutuhan untuk meraih prestasi belajar yang baik di sekolah. Siswa dengan ketrampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam pelajaran, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka. Sebaliknya siswa yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk berkonsentrasi pada pelajaran ataupun untuk memiliki pikiran yang jernih, sehingga bagaimana siswa diharapkan berprestasi kalau mereka masih kesulitan mengatur emosi mereka.
Musik dan Kecerdasan Emosi (EQ)
Sternberg dan Salovery (1997)
mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali emosi diri,
yang merupakan kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri sewaktu perasaan
atau emosi itu muncul, dan ia mampu mengenali emosinya sendiri apabila ia
memiliki kepekaan yang tinggi atas perasaan mereka yang sesungguhnya dan
kemudian mengambil keputusan-keputusan secara mantap.
Kecerdasan emosional perlu
dikembangkan karena hal inilah yang mendasari keterampilan seseorang di tengah
masyarakat kelak, sehingga akan membuat seluruh potensi anak dapat berkembang
secara lebih optimal. Idealnya seseorang dapat menguasai keterampilan kognitif
sekaligus keterampilan sosial emosional. Sebagaimana dikatakan para ahli,
perkembangan kecerdasan emosional dipengaruhi oleh rangsangan musik seperti yang
dikatakan Gordon Shaw.
Menurut Siegel (1999) ahli
perkembangan otak, mengatakan bahwa musik dapat berperan dalam proses
pematangan hemisfer kanan otak, walaupun dapat berpengaruh ke hemisfer sebelah
kiri, oleh karena adanya cross-over dari kanan ke kiri dan sebaliknya yang
sangat kompleks dari jaras-jaras neuronal di otak. Efek atau suasana perasaan
dan emosi baik persepsi, ekspresi, maupun kesadaran pengalaman emosional,
secara predominan diperantarai oleh hemisfer otak kanan. Artinya, hemisfer ini
memainkan peran besar dalam proses perkembangan emosi, yang sangat penting bagi
perkembangan sifat-sifat manusia yang manusiawi. Kehalusan dan kepekaan
seseorang untuk dapat ikut merasakan perasaan orang lain, menghayati pengalaman
kehidupan dengan “perasaan”, adalah fungsi otak kanan, sedang kemampuan
mengerti perasaan orang lain, mengerti pengalaman dengan rasio adalah fungsi
otak kiri. Kemampuan seseorang untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan
manusiawi dengan orang lain merupakan percampuran.
Proses mendengar musik merupakan
salah satu bentuk komunikasi afektif dan memberikan pengalaman emosional. Emosi
yang merupakan suatu pengalaman subjektif yang inherent terdapat pada setiap
manusia. Untuk dapat merasakan dan menghayati serta mengevaluasi makna dari
interaksi dengan lingkungan, ternyata dapat dirangsang dan dioptimalkan
perkembangannya melalui musik sejak masa dini. Musik digambarkan sebagai salah
satu “bentuk murni” ekspresi emosi. Musik mengandung berbagai contour, spacing,
variasi intensitas dan modulasi bunyi yang luas, sesuai dengan
komponen-komponen emosi manusia.
Perbedaan Kecerdasan Emosional Siswa Laki-laki dan Perempuan
Brody & Judith
Halld (dalam Goleman, 1995) menyebutkan bahwa anak perempuan lebih terampil
berbahasa daripada anak laki-laki, maka mereka lebih berpengalaman dalam
mengutarakan perasaannya dan lebih cakap daripada anak laki-laki dalam
memanfaatkan kata-kata untuk menjelajahi dan untuk menggantikan reaksi-reaksi emosional seperti perkelahian fisik. Sebaliknya, anak
laki-laki yang pengungkapan emosinya diabaikan sebagian besar tampak kurang
peka akan keadaan emosi baik dalam dirinya sendiri maupun dalam diri orang
lain.
Berdasarkan hasil dari
penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosional baik siswa laki-laki maupun siswa perempuan masuk
dalam kategori tinggi. Berdasarkan hasil analisis uji-t, penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan yang
signifikan antara kecerdasan emosional
siswa laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian disarankan kepada pihak konselor bahwa dengan
cukup banyaknya siswa yang memiliki tingkat kecerdasan emosional tinggi maka hendaknya konselor tetap memberikan
layanan bimbingan pengembangan emosional serta
pembinaan yang intensif agar siswa tetap memiliki tingkat kecerdasan
emosional tinggi. Selain cukup banyak siswa yang
memiliki kecerdasan emosional
tinggi, akan tetapi masih cukup banyak juga siswa yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.
Melihat hal ini seharusnya konselor lebih memberikan pendidikan kecerdasan emosional dengan
memberikan layanan bimbingan pengembangan emosional,
misalnya memberikan pelatihan kecerdasan emosional dengan diadakan bimbingan kelompok, role
playing (bermain peran), dan sebagainya. Tentu saja di dalam pemberian
layanan tersebut dengan tidak membedakan jenis kelamin. Bagi siswa yang sudah mengetahui
tingkat kecerdasan emosionalnya, dapat menjadikan hal
ini sebagai bahan pertimbangan agar dapat lebih mengatur dan mengontrol
emosinya dalam berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain, khususnya
teman lawan jenisnya tanpa memandang perbedaan jenis kelamin karena mereka
mempunyai kecerdasan emosional
yang sama serta terus berupaya untuk meningkatkan kecerdasan
emosionalnya agar dapat berinteraksi dan bersosialisasi lebih baik dengan orang
lain.
Untuk
yang tertarik dengan penelitian tentang kecerdasan emosional, disarankan untuk menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan desain penelitian eksperimen agar siswa yang memiliki tingkat
kecerdasan emosional rendah
dapat meningkatkan kecerdasan emosionalnya melalui
treatment-treatment yang diberikan.
Mengenal Kecerdasan Emosional (EQ) Remaja
Masa remaja dikenal dengan masa
storm and stress dimana terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan
pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi.
Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam
pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman
sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani di sekolah tidak memadai untuk memenuhi
tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan
energinya ke arah yang tidak positif, misalnya tawuran. Hal ini menunjukkan
betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam
lingkungannya.
Mengingat
bahwa masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan
dan teman-teman sebaya dan dalam rangka menghindari hal-hal negatif yang dapat
merugikan dirinya sendiri dan orang lain, remaja hendaknya memahami dan
memiliki apa yang disebut kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional ini
terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana remaja mampu untuk memberi kesan yang
baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri,
berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan
mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada
sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif.
Goleman (1995) mengungkapkan 5
wilayah kecerdasan emosional yang dapat menjadi pedoman bagi individu untuk
mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu :
v Mengenali
emosi diri
v Mengelola
emosi
v Memotivasi
diri
v Mengenali emosi
orang lain
v Membina hubungan dengan orang lain
Dengan
memahami komponen-komponen emosional tersebut diatas, diharapkan para remaja
dapat menyalurkan emosinya secara proporsional dan efektif. Dengan demikian
energi yang dimiliki akan tersalurkan secara baik sehingga mengurangi hal-hal
negatif yang dapat merugikan masa depan remaja dan bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar